MAKI Ancam Praperadilan jika KPK Tak Tetapkan Tersangka Kuota Haji dalam Pekan Ini

Koordinator MAKI, Boyamin Saiman. MAKI Ancam Praperadilan jika KPK Tak Tetapkan Tersangka Kuota Haji dalam Pekan Ini. (KlikSoloNews/Adhorajasa)

SOLO, KLIKSOLONEWS.COM – Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) segera menetapkan tersangka dalam kasus dugaan korupsi di lingkungan Kementerian Agama (Kemenag).

Kasus tersebut menyeret nama mantan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, terutama terkait dugaan praktik jual beli kuota haji plus.

Bacaan Lainnya

Koordinator MAKI, Boyamin Saiman, menegaskan pihaknya tidak akan tinggal diam melihat lambannya penanganan perkara oleh lembaga antirasuah. Ia bahkan mengultimatum akan menggugat KPK melalui praperadilan bila dalam pekan ini belum ada penetapan tersangka.

“Minggu ini harus ada tersangka. Kalau tidak, minggu depan saya akan ajukan praperadilan terhadap KPK,” tegas Boyamin saat ditemui di Mapolresta Surakarta.

Menurut Boyamin, kasus ini bermula dari penyalahgunaan aturan mengenai tambahan kuota haji yang diberikan oleh Pemerintah Arab Saudi. Sesuai aturan, kuota haji plus hanya boleh 8 persen dari total kuota. Namun, keputusan menteri justru membagi tambahan kuota itu menjadi dua, termasuk untuk haji plus.

“Seharusnya tambahan kuota digunakan seluruhnya untuk jamaah reguler agar antrean berkurang. Tapi justru dimanfaatkan untuk bisnis haji plus,” ujarnya.

Boyamin mengaku pernah ditawari oleh biro travel untuk berangkat haji tanpa antre dengan biaya tambahan ribuan dolar. Penawaran itu menurutnya membuktikan adanya praktik jual beli kuota.

Potensi Kerugian Negara Capai Rp1 Triliun

MAKI menilai praktik kotor ini menimbulkan kerugian besar bagi negara. Nilai jual beli kuota haji plus diperkirakan mencapai Rp750 miliar hingga Rp1 triliun, belum termasuk pungutan liar terkait makan, penginapan, hingga transportasi.

Selain itu, Boyamin juga menyoroti dugaan rangkap jabatan dan rangkap anggaran. Sebagai Amirul Hajj, Menteri Agama telah mendapat fasilitas penuh dari negara, namun tetap menerima anggaran tambahan dengan alasan pengawasan.

“Ini jelas double anggaran. Satu kegiatan dibiayai lebih dari sekali, dan itu bertentangan dengan aturan keuangan negara,” tegasnya.

MAKI menilai bukti awal sudah cukup kuat, baik dari sisi aturan maupun praktik di lapangan. Boyamin mengingatkan kasus ini menyangkut hak masyarakat luas, terutama jamaah reguler yang harus menunggu hingga puluhan tahun untuk bisa berangkat haji.

“Haji reguler antreannya sampai 20 tahun. Tambahan kuota seharusnya dipakai untuk mempercepat antrean, bukan diperjualbelikan. Ini jelas melanggar hukum sekaligus moral,” pungkasnya.(KS01)

About The Author

Pos terkait