WONOGIRI, KLIKSOLONEWS.COM – Kamis siang, 9 Oktober 2025, menjadi hari yang tak akan pernah dilupakan Najwa Aulia Ayu Solehah, siswi kelas XI Sekolah Luar Biasa Negeri (SLBN) Wonogiri.
Dengan suara lembut dan penuh perasaan, gadis tunanetra itu membacakan puisi karyanya sendiri, “Rindu Cahaya”, di hadapan Gubernur Jawa Tengah Ahmad Luthfi, sang Bapak Disabilitas Jawa Tengah.
Tak butuh waktu lama bagi suasana ruang sekolah itu berubah menjadi haru. Ahmad Luthfi, yang semula tersenyum hangat menyambut Najwa, tampak beberapa kali menyeka air mata.
Bait-bait sederhana dari puisi Najwa seolah mengetuk nurani setiap orang yang hadir di ruangan itu.
“Sudah bertambahkah keriputmu, Ayah?
Masihkah kau nampak gagah?
Bahumu yang kekar di setiap langkah,
Pejuang nafkah tak kenal lelah…
Oh cahaya,
Sudikah engkau menghampiriku sebentar saja,
Kupinjam sinarmu,
Aku rindu wajah ayah ibuku,
Tak peduli bagaimana rupaku…”
Tangis haru pun pecah. Tak hanya Gubernur, Bupati Wonogiri Setyo Sukarno, Wakil Bupati Imron Rizkyarno, hingga para tamu undangan juga ikut menitikkan air mata.
Najwa menyampaikan setiap kata dengan kejujuran yang sulit dijelaskan dengan logika, lahir dari pengalaman dan kehilangan yang begitu dalam.
Najwa bukan gadis biasa. Ia adalah penyintas disabilitas netra akibat tumor otak yang dideritanya sejak duduk di bangku kelas VIII.
Ketika penglihatannya perlahan memudar, ia justru menemukan cahaya baru lewat kata-kata. Menulis puisi menjadi caranya berkomunikasi dengan dunia — dan dengan dirinya sendiri.
“Dulu saya bisa melihat, tapi sekarang hanya bisa mendengar suara dan napas orang tua saya,” ucapnya lirih setelah membacakan puisinya.
Puisi “Rindu Cahaya” adalah surat cintanya untuk ayah dan ibunya, yang tetap menjadi sumber kekuatan di tengah gelapnya penglihatan. “Saya menulis puisi kalau kangen mereka,” tambahnya.
Harapan yang Tak Padam
Usai membacakan puisi, Najwa dipeluk erat oleh Ahmad Luthfi. Dalam pelukan itu, sang gubernur mendengarkan cita-cita gadis itu: ingin kuliah di Universitas Sebelas Maret (UNS) dan menjadi guru di SLBN Wonogiri.
“Saya mau kuliah di UNS. Nanti mau jadi guru di sini,” katanya polos namun tegas.
Mendengar hal itu, Ahmad Luthfi langsung menoleh ke Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jateng, Sadimin, dan berkata:
“Pintar sekali. Adik harus kuliah.”
Janji itu disambut tepuk tangan dan senyum dari seluruh hadirin — sebuah momen kecil yang terasa begitu besar bagi masa depan Najwa.
SLBN Wonogiri, Rumah yang Menyala di Tengah Keterbatasan
Kunjungan Ahmad Luthfi ke SLBN Wonogiri sebenarnya dalam rangka meninjau progres pembangunan gedung baru sekolah yang sudah mencapai 51 persen dan ditargetkan rampung November 2025. Namun kunjungan itu berubah menjadi pengalaman batin yang mendalam.
Sekolah ini bukan hanya tempat belajar, tetapi juga pusat terapi dan pemberdayaan disabilitas.
Dengan total 156 siswa, SLBN Wonogiri menawarkan berbagai pelatihan vokasional: tata boga, busana, otomotif, komputer, pertukangan, pertamanan, hingga tata kecantikan. Di samping itu, ada pula klinik terapi lengkap — dari terapi wicara hingga psikoterapi.
Ahmad Luthfi menyebut keberadaan sekolah ini sebagai “benteng cahaya” bagi anak-anak istimewa Jawa Tengah. “Mereka tidak butuh dikasihani. Mereka butuh ruang untuk bermimpi,” ujarnya.
Ketika acara berakhir, Najwa masih duduk tenang, tangannya menggenggam tongkat kecil, wajahnya menghadap arah cahaya matahari sore yang menembus jendela.
Di balik gelapnya dunia yang ia lihat, ada cahaya lain yang menyala lebih terang: cahaya keberanian dan cinta. Puisi yang ia bacakan hari itu bukan sekadar kata, tapi pesan yang menggugah. Bahwa kehilangan tidak selalu berarti kegelapan — terkadang justru menjadi jalan menuju terang. (ks01)